ISTANA SAYAP awalnya dibangun oleh Sultan Pelalawan ke 29, yakni Tengku Sontol Said Ali (1886 – 1892 M). Sebelum bangunan itu selesai, beliau mangkat digelar Marhum Mangkat di Balai. Selanjutnya pembangunan Istana ini diteruskan sampai selesai oleh pengganti beliau yakni Sultan Syarif Hasyim II (1892 – 1930 M).
Pada awalnya pusat kerajaan Pelalawan berada di Sungai Rasau (anak sungai Kampar), berlokasi di Kota Jauh dan Kota Dekat. Ketika Tengku Sontol Said Ali menjadi Sultan Pelalawan, beliau berazam memindahkan istananya dari sungai Rasau ke pinggir sungai Kampar, tepatnya di muara sungai Rasau yang disebut “Ujung Pantai”. Karenanya, istana ini dinamakan pula “ISTANA UJUNG PANTAI”. Namun ketika Sultan Syarif Hasyim II melanjutkan pembangunan istana yang masih terbengkalai karena mangkatnya Sultan Tengku Sontol Said Ali, maka beliau membangun dua sayap disamping kanan dan kiri istana, yang dijadikan Balai. Maka istana inipun dinamakan “ISTANA SAYAP”. Bangunan di sebelah kanan istana (sebelah hulu) disebut “Balai Sayap Hulu” yang berfungsi menjadi kantor Sultan”, dan bangunan di sebelah kiri Istana (sebelah hilir) dinamanakan “Balai Hilir” yang berfungsi sebagai “Balai Penghadapan” bagi seluruh rakyat Pelalawan.
Sekitar tahun 1896 M bangunan istana Sayap selesai seluruhnya, dan Sultan Syarif Hasyim II berpindah dari Istana Kota Dekat di sungai Rasau ke Istana Sayap di Ujung Pantai. Sejak itu, pusat pemerintahan kerajaan Pelalawan menetap di pinggir sungai Kampar yang sekarang menjadi Desa Pelalawan, dan Ibukota Kecamatan Pelalawan.
Untuk mengenang jasa Sultan Syarif Hasyim II yang memindahkan pusat pemerintahan kerajaan Pelalawan dari sungai Rasau ke pinggir sungai Kampar dimaksud, ketika mangkatnya beliau digelar “MARHUM KAMPAR II. (Marhum Kampar I adalah Sultan Mahmud Syah I, Sultan Melaka terakhir yang mangkat di Pekantua Kampar 1528 M).
FILOSOFI ISTANA SAYAP
Dahulu, setiap bangunan dirancang secara cermat, disempurnakan dengan berbagai syimbol dan makna, agar memberikan kenyamanan, kesejahteraan dan manfaat yang besar bagi penghuni dan pemiliknya. Acuan ini menyebabkan pembangunan Istana Sayap dirancang dengan berbagai pertimbangan, sehingga wujudlah tiga bangunan. Bangunan pertama adalah Bangunan Induk, sedangkan bangunan kedua dan ketiga yang terletak di samping kanan dan kiri bangunan induk dinamakan bangunan “Sayap Kanan” dan “Sayap Kiri”.
Di dalam budaya Melayu Riau, khasnya di kerajaan Pelalawan, setiap bangunan resmi terdiri dari bangunan Induk dan bangunan lainnya, yang lazim disebut “bangunan anak” atau “Bangunan Sayap”. Bila letaknya kearah belakang atau kemuka, dan menyatu dengan bangunan Induk, lazimnya disebut bangunan Anak, (selanjutnya disebut pula Selasar depan, selasar Belakang, Selasar Dalam, Selasar Luar, Selasar Jatuh, Gajah Menyusur dan sebagainya). Bila bangunan itu berada agak terpisah dan terletak simitris sebelah kanan dan kiri bangunan Induk, disebut “Sayap”. Lazimnya, bangunan Sayap hanya terdapat pada Istana Raja.
Di Istana Sayap, bangunan Induk adalah tempat Sultan beserta keluarga dan orang-orang yang bertugas di sana. Di bangunan ini pula terdapat ruang Penghadapan (ruang Peterakna), bilik tidur, dan ruangan anjungan yang diisi dengan segala alat dan kelengkapan kerjaaan. Menyatu dengan bangunan Induk, disebelah depan terdapat ruang Selasar Dalam dan Selasar Luar untuk tempat menghadap rakyat dan Orang-orang Besar Kerajaan. Di bagian belakang bangunan Induk ada ruangan Telo, dan di belakangnya lagi adalah ruangan Penanggah, tempat kegiatan pekerja rumah tangga Istana dan kelengkapan jamuan dan sebagainya.
Bangunan Induk mencerminkan Sultan sebagai “induk” dari rakyatnya, sesuai dengan ungkapan adat yang mangatakan :
“yang ayam ada induknya
Yang serai ada rumpunnya
Yang sungai ada guguknya
Yang keris ada hulunya
Yan tombak ada gagangnya
Yang rumah ada tuannya
Yang kampong ada penghulunya
Yang negeri ada rajanya”
Pembagian tata ruang diatur sesuai menurut ketentuan adat yang berlaku, sehingga siapaun yang masuk ke bangunan itu akan tahu dimana ia duduk dan dimana ia berdiri. Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Adat masuk ke rumah orang
Tahu duduk dengan tegaknya
Tahu susun dengan letaknya
Tahu atur dengan haknya
Tahu alur dengan patutnya”
Bangunan Anak yang disebut Sayap dibuat khusus dengan ukuran dan bentuk yang sama. Ketentuan ini mencerminkan kehidupan yang seimbang dan setara, adil dan tidak berat sebelah. Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Rumah Induk ada Anaknya
Anak di kanan anak di kiri
Anak dibuat sama setara
Sama bentuk dengan ukurnya
Sama jauh dengan dekatnya
Sama padan dengan takahnya
Tanda adil sama dijunjung
Tanda menimbang sama berat
Tanda mengukur sama panjang
Tanda menyukat sama penuh
Tanda berlaba sama mendapat
Tanda hilang sama merugi
Tanda berat sama dipikul
Tanda ringan sama dijinjing
Tanda ke laut sama berbasah
Tanda ke darat sama berkering
Tanda senasib sepenanggungan
Tanda seaib sama semalu”
Di dalam menentukan fungsi bangunan, maka Bangunan Induk tetap dijadikan teraju dan pucuk dari semua aktivitas dan makna di dalam kerajaan itu, Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Di dalam bangunan Induk
Terkandung tuah dengan marwah
Terkandung petuah dengan amanah
Terkandung janji dengan sumpah
Terkandung daulat dengan martabat
Terkandung makna dengan hakikat
Terkandung kasih dengan sayang
Terkandung beban berkepanjangan
Terkandung hutang tak berkesudahan
Hutang ke Allah hutang ke rakyat
Hutang tak dapat dibelah bagi
Hutang tak dapat diingkar-ingkari
Hutang amanah menebus sumpah”
Di dalam memfungsikan bangunan Sayap, ditetapkan, bahwa Sayap Kanan, yakni sebelah hulu dijadikan kantor Sultan, sesuai dengan ungkapan adat:
“Yang raja memegang hulu
Hulu bicara hulu rundingan
Hulu petuah hulu amanah
Hulu titah membawa berkah
Hulu nasehat membawa berkat”
“Di Sayap Kanan raja duduk
Mencari runding pada yang elok
Di sana yang kusut diselesaikan
Di sana yang keruh dijernihkan
Di sana yang bengkok diluruskan
Disana yang salah dibetulkan
Disana yang kesat diampelas
Disana yang berbongkol sama ditarah
Disana yang sumbang diperbaiki
Disana yang janggal dielokkan
Disana hukum ditegakkan”
Sedangkan bangunan Sayap sebelah kiri bangunan Induk, yakni yang sebelah hilir, dijadikan tempat menghadap rakyat kerajaan, sesuai dengan ungkapan adat:
“Yang rakyat memberi ingat
Memberi bakti serta pendapat
Memberi setia serta amanat
Supaya berjalan tak salah langkah
Supaya bercakap tak salah ucap
Supaya memerintah tak salah titah
Supaya berjalan tak salah pedoman
Supaya berlayar kearah yang benar
Disana tangan bebas melenggang
Disana kaki bebas melangkah
Disana lidah bebas bercakap
Disana janji sama diikat
Disana amanah dipegang erat”
Selain itu, simbol-simbol yang mengandung nilai-nilai luhur dan budaya tempatan tercermin pula dalam berbagai ornament dan sebagainya yang intinya mengacu kepada keutamaan raja dan raknyatnya yang hidup tersebati, menyatu bagaikan mata putih dengan mata hitam, sehingga rusak yang putih binasa yang hitam, dan rusak yang hitam binasa yang putih. Bersebatinya pemimpin dengan rakyatnya, serta mewujudkan kehidupan yang sejahtera lahiriah dan batiniah.
Pekanbaru, Juli 2006
Tenas Effendy
SEKILAS PELALAWANPada awalnya pusat kerajaan Pelalawan berada di Sungai Rasau (anak sungai Kampar), berlokasi di Kota Jauh dan Kota Dekat. Ketika Tengku Sontol Said Ali menjadi Sultan Pelalawan, beliau berazam memindahkan istananya dari sungai Rasau ke pinggir sungai Kampar, tepatnya di muara sungai Rasau yang disebut “Ujung Pantai”. Karenanya, istana ini dinamakan pula “ISTANA UJUNG PANTAI”. Namun ketika Sultan Syarif Hasyim II melanjutkan pembangunan istana yang masih terbengkalai karena mangkatnya Sultan Tengku Sontol Said Ali, maka beliau membangun dua sayap disamping kanan dan kiri istana, yang dijadikan Balai. Maka istana inipun dinamakan “ISTANA SAYAP”. Bangunan di sebelah kanan istana (sebelah hulu) disebut “Balai Sayap Hulu” yang berfungsi menjadi kantor Sultan”, dan bangunan di sebelah kiri Istana (sebelah hilir) dinamanakan “Balai Hilir” yang berfungsi sebagai “Balai Penghadapan” bagi seluruh rakyat Pelalawan.
Sekitar tahun 1896 M bangunan istana Sayap selesai seluruhnya, dan Sultan Syarif Hasyim II berpindah dari Istana Kota Dekat di sungai Rasau ke Istana Sayap di Ujung Pantai. Sejak itu, pusat pemerintahan kerajaan Pelalawan menetap di pinggir sungai Kampar yang sekarang menjadi Desa Pelalawan, dan Ibukota Kecamatan Pelalawan.
Untuk mengenang jasa Sultan Syarif Hasyim II yang memindahkan pusat pemerintahan kerajaan Pelalawan dari sungai Rasau ke pinggir sungai Kampar dimaksud, ketika mangkatnya beliau digelar “MARHUM KAMPAR II. (Marhum Kampar I adalah Sultan Mahmud Syah I, Sultan Melaka terakhir yang mangkat di Pekantua Kampar 1528 M).
FILOSOFI ISTANA SAYAP
Dahulu, setiap bangunan dirancang secara cermat, disempurnakan dengan berbagai syimbol dan makna, agar memberikan kenyamanan, kesejahteraan dan manfaat yang besar bagi penghuni dan pemiliknya. Acuan ini menyebabkan pembangunan Istana Sayap dirancang dengan berbagai pertimbangan, sehingga wujudlah tiga bangunan. Bangunan pertama adalah Bangunan Induk, sedangkan bangunan kedua dan ketiga yang terletak di samping kanan dan kiri bangunan induk dinamakan bangunan “Sayap Kanan” dan “Sayap Kiri”.
Di dalam budaya Melayu Riau, khasnya di kerajaan Pelalawan, setiap bangunan resmi terdiri dari bangunan Induk dan bangunan lainnya, yang lazim disebut “bangunan anak” atau “Bangunan Sayap”. Bila letaknya kearah belakang atau kemuka, dan menyatu dengan bangunan Induk, lazimnya disebut bangunan Anak, (selanjutnya disebut pula Selasar depan, selasar Belakang, Selasar Dalam, Selasar Luar, Selasar Jatuh, Gajah Menyusur dan sebagainya). Bila bangunan itu berada agak terpisah dan terletak simitris sebelah kanan dan kiri bangunan Induk, disebut “Sayap”. Lazimnya, bangunan Sayap hanya terdapat pada Istana Raja.
Di Istana Sayap, bangunan Induk adalah tempat Sultan beserta keluarga dan orang-orang yang bertugas di sana. Di bangunan ini pula terdapat ruang Penghadapan (ruang Peterakna), bilik tidur, dan ruangan anjungan yang diisi dengan segala alat dan kelengkapan kerjaaan. Menyatu dengan bangunan Induk, disebelah depan terdapat ruang Selasar Dalam dan Selasar Luar untuk tempat menghadap rakyat dan Orang-orang Besar Kerajaan. Di bagian belakang bangunan Induk ada ruangan Telo, dan di belakangnya lagi adalah ruangan Penanggah, tempat kegiatan pekerja rumah tangga Istana dan kelengkapan jamuan dan sebagainya.
Bangunan Induk mencerminkan Sultan sebagai “induk” dari rakyatnya, sesuai dengan ungkapan adat yang mangatakan :
“yang ayam ada induknya
Yang serai ada rumpunnya
Yang sungai ada guguknya
Yang keris ada hulunya
Yan tombak ada gagangnya
Yang rumah ada tuannya
Yang kampong ada penghulunya
Yang negeri ada rajanya”
Pembagian tata ruang diatur sesuai menurut ketentuan adat yang berlaku, sehingga siapaun yang masuk ke bangunan itu akan tahu dimana ia duduk dan dimana ia berdiri. Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Adat masuk ke rumah orang
Tahu duduk dengan tegaknya
Tahu susun dengan letaknya
Tahu atur dengan haknya
Tahu alur dengan patutnya”
Bangunan Anak yang disebut Sayap dibuat khusus dengan ukuran dan bentuk yang sama. Ketentuan ini mencerminkan kehidupan yang seimbang dan setara, adil dan tidak berat sebelah. Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Rumah Induk ada Anaknya
Anak di kanan anak di kiri
Anak dibuat sama setara
Sama bentuk dengan ukurnya
Sama jauh dengan dekatnya
Sama padan dengan takahnya
Tanda adil sama dijunjung
Tanda menimbang sama berat
Tanda mengukur sama panjang
Tanda menyukat sama penuh
Tanda berlaba sama mendapat
Tanda hilang sama merugi
Tanda berat sama dipikul
Tanda ringan sama dijinjing
Tanda ke laut sama berbasah
Tanda ke darat sama berkering
Tanda senasib sepenanggungan
Tanda seaib sama semalu”
Di dalam menentukan fungsi bangunan, maka Bangunan Induk tetap dijadikan teraju dan pucuk dari semua aktivitas dan makna di dalam kerajaan itu, Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Di dalam bangunan Induk
Terkandung tuah dengan marwah
Terkandung petuah dengan amanah
Terkandung janji dengan sumpah
Terkandung daulat dengan martabat
Terkandung makna dengan hakikat
Terkandung kasih dengan sayang
Terkandung beban berkepanjangan
Terkandung hutang tak berkesudahan
Hutang ke Allah hutang ke rakyat
Hutang tak dapat dibelah bagi
Hutang tak dapat diingkar-ingkari
Hutang amanah menebus sumpah”
Di dalam memfungsikan bangunan Sayap, ditetapkan, bahwa Sayap Kanan, yakni sebelah hulu dijadikan kantor Sultan, sesuai dengan ungkapan adat:
“Yang raja memegang hulu
Hulu bicara hulu rundingan
Hulu petuah hulu amanah
Hulu titah membawa berkah
Hulu nasehat membawa berkat”
“Di Sayap Kanan raja duduk
Mencari runding pada yang elok
Di sana yang kusut diselesaikan
Di sana yang keruh dijernihkan
Di sana yang bengkok diluruskan
Disana yang salah dibetulkan
Disana yang kesat diampelas
Disana yang berbongkol sama ditarah
Disana yang sumbang diperbaiki
Disana yang janggal dielokkan
Disana hukum ditegakkan”
Sedangkan bangunan Sayap sebelah kiri bangunan Induk, yakni yang sebelah hilir, dijadikan tempat menghadap rakyat kerajaan, sesuai dengan ungkapan adat:
“Yang rakyat memberi ingat
Memberi bakti serta pendapat
Memberi setia serta amanat
Supaya berjalan tak salah langkah
Supaya bercakap tak salah ucap
Supaya memerintah tak salah titah
Supaya berjalan tak salah pedoman
Supaya berlayar kearah yang benar
Disana tangan bebas melenggang
Disana kaki bebas melangkah
Disana lidah bebas bercakap
Disana janji sama diikat
Disana amanah dipegang erat”
Selain itu, simbol-simbol yang mengandung nilai-nilai luhur dan budaya tempatan tercermin pula dalam berbagai ornament dan sebagainya yang intinya mengacu kepada keutamaan raja dan raknyatnya yang hidup tersebati, menyatu bagaikan mata putih dengan mata hitam, sehingga rusak yang putih binasa yang hitam, dan rusak yang hitam binasa yang putih. Bersebatinya pemimpin dengan rakyatnya, serta mewujudkan kehidupan yang sejahtera lahiriah dan batiniah.
Pekanbaru, Juli 2006
Tenas Effendy
I. Sejarah Kerajaan Pelalawan
Wilayah kerajaan pelalawan yang sekarang menjadi kabupaten pelalawan,berawal dari kerajaan pekantua yang didirikan oleh maharaja indera (sekitar tahun 1380 M). Beliau adalah bekas orang besar kerajaan temasik (singapura)setelah kerajaan temasik dikalahkan oleh majapahit dipenghujung abad XIV.Sedangkan raja Temasik terakhir yang bernama permaisura (prameswara )mengundurkan dirinya ketanah semenanjung,dan mendirikan kerajaan malaka.
Maharaja indera (1380-1420) membangun kerajaan Pekantua di Sungai Pekantua (anak sungai Kampar,sekarang termasuk desa Tolam,Kecamatan Pelalawan,kabupaten Pelalawan ) pada tempat bernama
“Pematang Tuo”dan kerajaan nya di namakan “Pekantua”.setelah maharaja Indera, kerajaan pekantua di pimpin oleh Maharaja Pura (91420-1445 M) dan Maharaja Jaya (1480-1505 M).
Kerajaan malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah PP(1459-1477 M) menyerang kerajaan Pekantua,dan kerajaan pekantua dapat di kalahkan.selanjutnya Sultan Mansyur Syah (1505-1511 M) sebagai raja pekantua. Pada upacara penabalan, di umumkan bahwa Kerajaan Pekantua berubah nama menjadi “ Kerajaan Pekantua Kampar “.
Setelah Munawar Syah Mangkat, di angkatlah Puteranya Raja Abdullah, Menjadi Raja Pekantua Kampar (1511-1515 M). Di malaka, Sultan Mansyur Mangkat, di gantikan oleh Sultan Mahmud Syah I. Pada masa inilah Kerajaan malaka diserang dan dikalahkan oleh Portugis ( 1511 M ). Sultan Mahmud Syah I mengundurkan dirinya sekitar tahun 1526 M sampai ke Pekantua Kampar.
Raja Abdullah ( 1511-1515 M ), yang turut membantu melawan Portugis akhirnya tertangkap dan di buang ke Gowa. Oleh karena itulah, Ketika Sultan Mahmud Syah I sampai di pekantua (1526 M ) langsung dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar (1526-1528 M ) dan ketika beliau mangkat diberi gelar “Marhum Kampar” yang makamnya terletak di Pekantua Kampar.
Sultan Mahmud Syah I mangkat digantikan oleh puteranya dari isterinya Tun Fatimah, yang bernama Raja
Ali, bergelar “Sultan Alauddin Riayat Syah II “. Tak lama kemudian, beliau meninggalkan Pekantua ke Tanah Semananjung mendirikan Negeri Kuala Johor, beliau dianggap pendiri Kerajaan Johor. Sebelum meninggalkan Pekantua, beliau menunjuk dan mengangkat Mangkubumi Pekantua (1530-1551 M ) yang bernama Tun Perkasa dengan Gelar “Raja muda Tun Perkasa “. Selanjutnya kerajaan Pekantua Kampar diperintah oleh Tun Hitam (1551-1575 M), lalu Tun Megat (1575-1590 M).
Ketika kerajaan Johor dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar), Tun Megat dikerajaan Pekantua Kampar untuk menjadi raja. Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat, lalu mengirimkan salah seorang keluarga dekatnya yang bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi Raja Pekantua Kampar. Sekitar tahun 1590 M, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar dengan gelar “Maharaja Dinda” (1590-1630 M). selanjutnya, beliau memindahkan pusat kerajaan Pekantua Kampar dari Pekantua (Pematang Tuo) ke Bandar Tolam (Sekarang menjadi Desa Tolam, kecamatan Pelalawan).
Ketika Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691 M) mangkat digantikan oleh Putranya Maharaja Muda Lela (1691-1720 M), yang kemudian digantikan oleh putranya Maharaja Dinda II (1720-1750 M). pada masa Maharaja Dinda II sekitar tahun 1725 M terjadi pemindahan pusat Kerajaan Pekantua Kampar ke Sungai Rasau, salah satu anak sungai Kampar, dan nama kerajaan “ Pekantua Kampar “ diganti menjadi kerajaan “PELALAWAN”. Didalam upacara itu, gelar beliua yang semula Maharaja Dinda II di sempurnakan menjadi Maharaja Dinda Perkasa atau disebut Maharaja Lela Dipati. Setelah beliau mangkat, digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bungsu (1750-1775 M), yang berhasil membuat kerajaan Pelalawan semakin berkembang pesat karena membuat hubungan dagang dengan daerah sekitarnya.
Ramainya Perdagangan dikawasan ini antara lain disebabkan oleh terjadinya kemelut di Johor. Setelah Sultan Mahmud Syah II di Kerajaan Johor mangkat, arus perdagangan beralih je kawasan Pesisir Sumatera bagian timur. Sultan Mahmud Syah II mangkat di bunuh oleh Laksemana Megat Srirama yanh tidak berputera, maka penggantinya diangkat Bendahra Tun Habib menjadi Raja Johor yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Tak lama dating Raja Kecil yang menuntut Tahta Johor, karena beliau mengaku sebagai Putra Sultan Mahmud Syah II dengan istrinya yang bernama Encik Pong. Mengenai Raja Kecil ini terdapat berbagai versi, ada yang mengakuinya sebagai putra Sultan Mahmud Syah II dan ada yang menolaknya. Tetapi para pencatat sejarah dan silsilah di Kerajaan Siak dan Pelalawan tetap mengakuinya bahwa beliau adalah putra Sultan Mahmud Syah II.
Raja Kecil menduduki tahta Johor bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah. Tetapi kemudian terjadi pertikaian dengan iparnya, Raja Sulaiman, putra Sultan dan bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1722-1760 M). sedangkan Raja Kecil yang menduduki tahta Johor sebelumnya
(1717-1722 M) mengundurkan dirinya ke Siak, kemudian membuat Negeri di Buatan. Inilah awal berdirinya kerajaan Siak Sri Indrapura, Raja Kecil memerintah Siak tahun (17722-1746 M).
Kerajaan Pelalawan yang telah melepaskan diri dari ikatan Kerajaan Johor, diserang oleh Kerajaan Siak pada masa Sultan Syarif Ali (1784-1811 M). serangan yang dipimpin oleh Said Abdurrahman, adik Sultan Syarif Ali dapat menaklukkan kerajaan Pelalawan. Sultan Said Abdurrahman melakukan ikatan persaudaraan yang disebut “Begito” (pengakuan bersaudara dunia akhirat) dengan Maharaja Lela II, Raja Pelalawan pada saat itu.
Said Abdurrahman kemudian dinobatkan menjadi Raja Pelalawan dengan gelar Sultan Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822 M). sejak itu kerajaan Pelalawan diperintah oleh raja-raja keturunan Said Abdurrahman, saudar dari Syarif Ali Sultan Siak, sampai kepada Raja Pelalawan terakhir.
Syarif Abdurrahman (1798-1822 M)
Syarif Hasyim (1822-1828 M)
Syarif Ismail (1828-1844 M)
Syarif Ismail (1844-1866 M)
Syarif Ja’afar (1866-1872 M)
Syarif Abubakar (1872-1886 M)
Tengku Sontol Said Ali (1886-1892 M)
Syarif Hasyim II (1892-1930 M)
Tengku Said Osman (Pemangku Sultan) (1930-1941 M)
Syarif Harun (1941-1946 M)
Pada saat kemerdekaan Republik Indonesia, Tengku Said Harun bersama orang besar Kerajaan Pelalawan menyampaikan pernyataan Taat Setia dan Bersatu dalam Negara Republik Indonesia yaitu pada tanggal 20 Oktober 1945. setelah mangkat, atas jasa-jasanya Beliau diberi gelar “Marhum Setia Negara”.
II. Pelalawan Sebagai Kabupaten
Kabupaten Pelalawan merupakan salah satu kabupaten yang dimekarkan (sebelumnya merupakan bagian dari kabupaten Kampar) di wilayah Propinsi Riau. Kabupaten Pelalawan dimekarkan pada tanggal 12 Oktober 1999 yang disahkan melalui Undang-undang No. 53 tahun1999. ibukota Kabupaten Pelalawan adalah Pangkalan Kerinci yang terletak di bagian timur Riau Daratan dengan luas 12.490,42km2 dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah Timur berbatas dengan Kabupaten Karimun, Prop. Kepri dan Selat Malaka
- Sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Indragiri Hilir
Untuk mencapai kota Pangkalan Kerincidapat ditempuh melalui beberapa pintu masuk :
a. Darat : - Melalui Kota Pekanbaru dengan melewati jalan raya Lintas Timur.
-Melalui Kota Jambi/Rengat (Kabupaten Inhu) dengan melewati jalan Raya Lintas Timur
b. Laut/Sungai : - Melalui Penyalai di Kuala Kampar
- Melalui Tolam, di Kecamatan Pelalawan
- Melalui Teratak Buluh di Kabupaten Kampar
c. Udara : - Melalui Bandar Udara Sultan Syarief Haroen di Komplek PT. RAPP (Riau Pulp and Paper)
Kabupaten Pelalawan telah berkembang menjadi 12 Kecamatan terdiri dari 4 Kecamatan Definitif dan 8 Kecamatan Pembantu, diantaranya :
Kecamatan Definitif :
1. Kec. Langgam Luas, 916,61 km2
2. Kec. Bunut Luas, 1.339,96 km2
3. Kec. Pangkalan Kuras Luas, 2.158,68 km2
4. Kec. Kuala Kampar Luas, 4.656,34 km2
Kecamatan Pembantu :
1. Kec. Pangkalan Kerinci Luas, 616,40 km2
2. Kec. Ukui Luas, 407,73 km2
3. Kec. Pelalawan Luas, 930,63 km2
4. Kec. Pangkalan Lengsung Luas, 472,73 km2
5. Kec. Kerumutan Luas, 773,86 km2
6. Kec. Teluk Meranti Luas, 217,49km2
7. Kec. Bandar Petalangan Luas, 365,26km2
8. Kec. Bandang sekijang Luas, 98,90 km2
Posisi yang srategis di jalur Lintas timur Sumatera serta berbatasan dengan Propinsi Kepulauan Riau dan Negara Tetangga merupakan keunggulan bagi Kabupaten Pelalawan untuk mengembangkan pembangunan di segala sector, dalam mengejar ketinggalan yang selama ini menyelimutinya.
Aktivitas pemanfaatan kekayaan dan keragaman hasil hutan juga terlihat dengan berdirinya pabrik kertas terbesar di Asia Tenggara oleh PT Riau Pulp and paper (anak perushaan Asia pacific resaurces International Holding Limeted) di pangkalan kerinci. Adanya pabrik ini mampu menghasilkan partisipasi terbesar dalam produk Regional Bruto di Kabupaten Pelalawan.
Penduduk asli Kabupaten Pelalawan terdiri dari orang Melayu yang terbagi dalam dua wilayah adat, Yaitu masyarakat Melayu pesisir dan Melayu Petalangan.
Kabupaten ini dialiri sungai Kampar dengan anak sungainya sehingga memberi karakteristik tersendiri terhadap kehidupan penduduknya, dimana sebagian pendudukasli banyak bergantung kepada kekayaan alam dan keragaman sumber daya perairan serta kekayaan dan keragaman hasil hutan. (pelalawankab.go.id)